Sejarah Filsafat
Manusia, masyarakat, kebudayaan dan alam
sekitar memiliki hubungan yang erat. Keempatnya-lah yang telah menyusun dan
mengisi sejarah filsafat dengan masing-masing karakteristik yang dibawanya.
Berdasar keempat hal tersebut juga, pada umumnya para filsuf sepakat untuk
membagi sejarah filsafat menjadi 3 tradisi besar, yakni Sejarah Filsafat India,
Sejarah Filsafat Cina, dan Sejarah Filsafat Barat.
Filsafat India
Filsafat India berpangkal pada keyakinan
bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam, harmoni antara individu
dan kosmos. Harmoni ini harus disadari supaya dunia tidak dialami sebagai
tempat keterasingan, sebagai penjara. Seorang anak di India harus belajar bahwa
ia karib dengan semua benda, dengan dunia sekelilingnya, bahwa ia harus menyambut
air yang mengalir dalam sungai, tanah subur yang memberi makanan, dan matahari
yang terbit. Orang India tidak belajar untuk menguasai dunia, melainkan
untuk berteman dengan dunia.
1. Jaman Weda (2000-600 S.M.)
Bangsa Arya masuk India dari utara, sekitar
1500 S.M. Literatur suci mereka disebut Weda. Bagian terpenting dari
Weda untuk filsafat India adalah Upanisad, yang sepanjang sejarah India
akan merupakan sumber yang sangat kaya untuk inspirasi dan pembaharuan.
Suatu tema yang menonjol dalam Upanisad
adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah
segi subyektif dari kenyataan, diri manusia. Brahman adalah segi
obyektif, makro-kosmos, alam semesta. Upanisad mengajar bahwa manusia
mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia menyadari identitas
Atman dan Brahman.
2.
Jaman Skeptisisme (200 S.M.-300 M.)
Sekitar tahun 600 S.M. mulai suatu reaksi,
baik terhadap ritualisme imam-imam maupun terhadap spekulasi berhubungan dengan
korban para rahib. Para imam mengajar ketaatan pada huruf kitab suci, tetapi
ketaatan ini mengganggu kebaktian kepada dewa-dewa. Para rahib mengajar suatu
“metafisika” yang juga tidak sampai ke hati orang biasa. Reaksi datang dalam
banyak bentuk. Yang terpenting adalah Buddhisme, ajaran dari pangeran Gautama
Buddha, yang memberi pedoman praktis untuk mencapai keselamatan: bagaimana
manusia mengurangi penderitaannya, bagaimana manusia mencapai terang budi.
Reaksi lain datang dari Jainisme dari
Mahawira Jina. Di samping itu mulai juga kebaktian yang lebih eksklusif kepada Siwa
dan Wisnu, dua bentuk agama yang lebih menarik daripada ritualisme dan
spekulasi para imam dan rahib.
Sebagai kontra-reformasi, muncul dalam
Hinduisme resmi enam sekolah ortodoks (disebut “ortodoks”, karena Buddhisme dan
Jainisme, yang tidak berdasar Weda, dianggap bidaah). Yang terpenting
dari sekolah ini adalah Samkhya dan Yoga. Yoga, dari kata “juj”,
“menghubungkan”, mengajar suatu jalan (“marga”) untuk mencapai kesatuan
dengan ilahi. Samkhya (artinya: “jumlah”, “hitungan”) mengajarkan tema terpenting
hubungan alam-jiwa, kesadaran materi, hubungan Purusa-Prakriti.
3. Jaman Puranis (300-1200)
Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India.
Buddhisme sekarang lebih penting di negara-negara tetangga daripada di India
sendiri. Pemikiran India dalam “abad pertengahan”-nya dikuasai oleh spekulasi
teologis, terutama mengenai inkarnasi-inkarnasi dewa-dewa. Banyak contoh
cerita tentang inkarnasi dewa-dewa terdapat dalam dua epos besar, Mahabharata
dan Ramayana.
4. Jaman Muslim (1200-1757)
Dua nama menonjol dalam periode muslim, yaitu
nama pengarang sya’ir Kabir, yang mencoba untuk memperkembangkan suatu
agama universal, dan Guru Nanak (pendiri aliran Sikh), yang
mencoba menyerasikan Islam dan Hinduisme.
5. Jaman Modern (setelah 1757)
Jaman modern, jaman pengaruh Inggris di
India, mulai tahun 1757. Periode ini memperlihatkan perkembangan kembali dari
nilai-nilai klasik India, bersama dengan pembaharuan sosial. Nama-nama
terpenting dalam periode ini adalah Raja Ram Mohan Roy (1772-1833), yang
mengajar suatu monoteisme berdasarkan Upanisad dan suatu moral
berdasarkan khotbah di bukit dari Injil, Vivekananda (1863-1902), yang
mengajar bahwa semua agama benar, tapi bahwa agama Hindu paling cocok untuk
India; Gandhi (1869-1948), dan Rabindranath Tagore (1861-1941),
pengarang syair dan pemikir religius yang membuka pintu untuk ide-ide dari
luar.
Sejumlah pemikir India jaman sekarang melihat
banyak kemungkinan untuk dialog antara filsafat Timur, yang dianggap terlalu
mistik dan filsafat Barat, yang dianggap terlalu duniawi. Radhakrishnan
(1888-1975) mengusulkan pembongkaran batas-batas ideologis untuk mencapai suatu
sinkretisme hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola berpikir
masa depan seluruh dunia. Sementara itu, filsafat India dapat belajar dari
rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat belajar dari intuisi
Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenai identitas makrokosmos
dan mikrokosmos.
Filsafat Cina
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah
filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu
dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem:
antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi
kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda
dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan
pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian, perikemanusiaan.
Pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat
Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina.
Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat
bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta (“Moira”),
dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan
dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa
manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya. Filsafat Cina dibagi
atas empat periode besar:
I. Jaman Klasik (600-200 S.M.)
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh
seratus sekolah filsafat: seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang
berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum,
misalnya “tao” (“jalan”), “te” (“keutamaan” atau “seni hidup”), “yen”
(“perikemanusiaan”), “i” (“keadilan”), “t’ien” (“surga”) dan “yin-yang”
(harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip
pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah:
1. Konfusianisme
Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse,
“guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao
(“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya:
manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup
dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat
dicapai melalui perikemanusiaan (“yen”), yang merupakan model untuk
semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.
2. Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”)
yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan
“jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao
Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal,
mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan
ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran
bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di
India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam
filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”,
“ketidaktahuan yang berilmu”).
3. Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” adalah dua
prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip
ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk
yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api,
dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam
kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan
derajat Yang tertentu.
4. Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse,
antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta
universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk
memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah
kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa
perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti.
Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, maka
jelek. Etika Mo Tse mengenal suatu prinsip bahwa...
5. Ming
Chia
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri
dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga
disebut “sekolah dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat
Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam
perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika
dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang
hal-hal seperti “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
6. Fa
Chia
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari
semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga
atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia
mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang
diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem
undang-undang yang keras sekali.
Tentang keenam sekolah klasik tersebut,
kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam golongan dalam
masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3)
okkultisme (dari ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5) para pendebat, dan (6)
ahli-ahli politik.
II.
Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
Bersama dengan perkembangan Buddhisme di
Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan “Nirwana”
dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala nama dan konsep”,
“di seberang adanya”.
III. Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik
kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat
unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia
ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan
nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam
Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama
sekali asing.
IV. Jaman Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun
1900. Pada permulaaan abad kedua puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar.
Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran
filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir
di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi,
kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina
dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Demikian sejarah filsafat yang berlangsung
Timur: India dan Cina. Berikutnya, kita akan melihat sejarah filsafat Barat,
yang dimulai di Asia Kecil dan memuat pemikir-pemikir dan aliran-aliran dari
Eropa, Asia, Afrika dan Amerika. Termasuk filsafat Barat: filsafat Yunani,
filsafat Helenisme, “filsafat Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance,
jaman modern dan masa kini.
Sejarah Filsafat Barat
I.
Jaman Kuno
1. Permulaan: Filsafat Pra-Sokrates di Yunani
Sejarah filsafat Barat mulai Milete, di Asia
kecil, sekitar tahun 600 S.M. Pada waktu itu Milete merupakan kota yang
penting, di mana banyak jalur perdagangan bertemu di Mesir, Itali, Yunani dan
Asia. Juga banyak ide bertemu di sini, sehingga Milete juga menjadi suatu pusat
intelektual. Pemikir-pemikir besar di Milete lebih-lebih menyibukkan diri
dengan filsafat alam. Mereka mencari suatu unsur induk (“archè”) yang
dapat dianggap sebagai asal segala sesuatu. Menurut Thales (± 600
S.M.) air-lah yang merupakan unsur induk ini. Menurut Anaximander (±
610-540 S.M.), segala sesuatu berasal dari “yang tak terbatas”, dan menurut Anaximenes
(± 585-525 S.M.) udara-lah yang merupakan unsur induk segala sesuatu. Pythagoras
(± 500 S.M.) yang mengajar di Itali Selatan, adalah orang pertama yang menamai
diri “filsuf”. Ia memimpin suatu sekolah filsafat yang kelihatannya sebagai
suatu biara di bawah perlindungan dari dewa Apollo. Sekolah Pythagoras sangat
penting untuk perkembangan matematika. Ajaran falsafinya mengatakan antara lain
bahwa segala sesuatu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan
itu “ritme”.
Dua nama lain yang penting dari periode ini
adalah Herakleitos (± 500 S.M.) dan Parmenides (515-440 S.M.).
Herakleitos mengajarkan bahwa segala sesuatu “mengalir” (“panta rhei”):
segala sesuatu berubah terus-menerus seperti air dalam sungai. Parmenides mengatakan
bahwa kenyataan justru memang tidak berubah. Segala sesuatu yang betul-betul
ada, itu kesatuan mutlak yang abadi dan tak terbagikan.
2.
Puncak Jaman Klasik: Sokrates, Plato, Aristoteles
Puncak filsafat Yunani dicapai pada Sokrates,
Plato dan Aristoteles. Sokrates (± 470-400 S.M.), guru Plato, mengajar
bahwa akal budi harus menjadi norma terpenting untuk tindakan kita. Sokrates
sendiri tidak menulis apa-apa. Pikiran-pikirannya hanya dapat diketahui secara
tidak langsung melalui tulisan-tulisan dari cukup banyak pemikir Yunani lain,
terutama melalui karya Plato. Plato (428-348 S.M.) menggambarkan
Sokrates sebagai seorang alim yang mengajar bagaimana manusia dapat menjadi
berbahagia berkat pengetahuan tentang apa yang baik.
Plato sendiri menentukan, bersama Aristoteles, bagi sebagian besar dari
seluruh sejarah filsafat Barat selama lebih dari dua ribu tahun. Dunia yang
kelihatan, menurut Plato, hanya merupakan bayangan dari dunia yang
sungguh-sungguh, yaitu dunia ide-ide yang abadi. Jiwa manusia berasal dari
dunia ide-ide. Jiwa di dunia ini terkurung di dalam tubuh. Keadaan ini berarti
keterasingan. Jiwa kita rindu untuk kembali ke “surga ide-ide”. Kalau jiwa
“mengetahui” sesuatu, pengetahuan ini memang bersifat “ingatan”. Jiwa pernah
berdiam dalam kebenaran dunia ide-ide, dan oleh karena itu pengetahuan mungkin
sebagai hasil “mengingat”.
Filsafat Plato merupakan perdamaian antara ajaran Parmenides dan ajaran
Herakleitos. Dalam dunia ide-ide segala sesuatu abadi, dalam dunia yang
kelihatan, dunia kita yang tidak sempurna, segala sesuatu mengalami perubahan.
Filsafat Plato, yang lebih bersifat khayal daripada suatu sistem pengetahuan,
sangat dalam dan sangat luas dan meliputi logika, epistemolgi, antropologi,
teologi, etika, politik, ontologi, filsafat alam dan estetika.
Aristoteles (384-322 S.M.), pendidik Iskandar Agung,
adalah murid Plato. Tetapi dalam banyak hal ia tidak setuju dengan Plato.
Ide-ide menurut Aristoteles tidak terletak dalam suatu “surga” di atas dunia
ini, melainkan di dalam benda-benda sendiri. Setiap benda terdiri dari dua
unsur yang tak terpisahkan, yaitu materi (“hylè”) dan bentuk (“morfè”).
Bentuk-bentuk dapat dibandingkan dengan ide-ide dari Plato. Tetapi pada
Aristoteles ide-ide ini tidak dapat dipikirkan lagi lepas dari materi. Materi
tanpa bentuk tidak ada. Bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi.
Bentuk-bentuk memberi kenyataan kepada materi dan sekaligus merupakan tujuan
dari materi. Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada
perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan Aristoteles
meliputi bidang logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam.
3. Helenisme
Iskandar Agung mendirikan kerajaan raksasa, dari India Barat sampai Yunani
dan Mesir. Kebudayaan Yunani yang membanjiri kerajaan ini disebut Hellenisme
(dari kata “Hellas”, “Yunani”). Helenisme yang masih berlangsung juga
selama kerajaan Romawi, mempunyai pusat intelektualnya di tiga kota besar:
Athena, Alexandria (di Mesir) dan Antiochia (di Syria). Tiga aliran filsafat
yang menonjol dalam jaman Helenisme, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme.
Stoisisme (diajar oleh a.l. Zeno dari Kition, 333-262 S.M.) terutama terkenal
karena etikanya. Etika Stoisisme mengajarkan bahwa manusia menjadi berbahagia
kalau ia bertindak sesuai dengan akal budinya. Kebahagiaan itu sama dengan
keutamaan. Kalau manusia bertindak secara rasional, kalau ia tidak dikuasai
lagi oleh perasaan-perasaannya, maka ia bebas berkat ketenangan batin yang oleh
Stoisisme disebut “apatheia”.
Epikurisme (dari Epikuros, 341-270 S.M) juga terkenal karena etikanya.
Epikurisme mengajar bahwa manusia harus mencari kesenangan sedapat mungkin.
Kesenangan itu baik, asal selalu sekadarnya. Karena “kita harus memiliki
kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita”. Manusia harus
bijaksana. Dengan cara ini ia akan memperoleh kebebasan batin.
Neo-platonisme. Seorang filsuf Mesir, Plotinos (205-270 M.), mengajarkan suatu
filsafat yang sebagian besar berdasarkan Plato dan yang kelihatan sebagai suatu
agama. Neo-platonisme ini mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan suatu
proses “emanasi” (“pendleweran”) yang berasal dari Yang Esa dan yang
kembali ke Yang Esa, berkat “eros”: kerinduan untuk kembali ke asal
ilahi dari segala sesuatu.
4. Jaman Patristik
Patristik (dari kata Latin “Patres”, “Bapa-bapa Gereja”) dibagi atas Patristik
Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik
Barat). Tokoh-tokoh dari Patristik Yunani antara lain Clemens dari
Aleksandria (150-215), Origenes (185-254), Gregorius dari Nazianze
(330-390), Basillus (330-379), Gregorius dari Nizza (335-394) dan
Dionysios Areopagita (± 500). Tokoh-tokoh dari Patristik Latin terutama Hilarius
(315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus
(354-430).
Ajaran falsafi-teologis dari Bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh
Plotinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan
pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Mereka berhasil membela ajaran
Kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir kafir. Tulisan-tulisan
Bapa-bapa Gereja merupakan suatu sumber yang kaya dan luas ynng sekarang masih
tetap memberi inspirasi baru.
5. Jaman Skolastik
Sekitar tahun 1000 peranan Plotinos diambil alih oleh Aristoteles.
Aristoteles menjadi terkenal kembali melalui beberapa filsuf Islam dan Yahudi,
terutama melalui Avicena (Ibn sina, 980-1037), Averroes (Ibn
Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles
lama-kelamaan begitu besar sehingga ia disebut “Sang Filsuf”, sedangkan
Averroes disebut “Sang komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman
Kristiani menghasilkan banyak filsuf penting. Mereka sebagian besar berasal
dari kedua ordo baru yang lahir dalam Abad Pertengahan, yaitu para Dominikan
dan Fransiskan.
Filsafat mereka disebut Skolastik (dari kata Latin, “scholasticus”,
“guru”). Karena, dalam periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah
biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan yang
bersifat internasional. Tokoh-tokoh dari Skolastik itu lebih-lebih Albertus
Magnus O.P. (1220-1280), Thomas Aquinas O.P. (1225-1274), Bonaventura
O.F.M. (1217-1274) dan Yohanes Duns Scotus O.F.M. (1266-1308). Tema-tema
pokok dari ajaran mereka itu: hubungan iman-akal budi, adanya dan hakikat
Tuhan, antropologi, etika dan politik. Ajaran skolastik dengan sangat bagus
diungkapkan dalam pusisi Dante Alighieri (1265-1321).
III. Jaman modern
1. Jaman
Renaissance
Jembatan antara Abad Pertengahan dan Jaman Modern, periode antara sekitar
1400 dan 1600, disebut quot;renaissance” (jaman “kelahiran kembali”).
Dalam jaman renaissance, kebudayaan klasik dihidupkan kembali.
Kesusasteraan, seni dan filsafat mencapi inspirasi mereka dalam warisan
Yunani-Romawi. Filsuf-filsuf terpenting dari rainassance itu adalah Nicollo
Macchiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Thomas More
(1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626).
Pembaharuan terpenting yang kelihatan dalam filsafat renaissance itu
“antroposentris”-nya. Pusat perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti
dalam jaman kuno, atau Tuhan, seperti dalam Abad Pertengahan, melainkan
manusia. Mulai sekarang manusia-lah yang dianggap sebagai titik fokus dari
kenyataan.
2. Jaman
Barok
Filsuf-filsuf dari Jaman Barok: René Descartes (1596-1650), Barukh
de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1710).
Filsuf-filsuf ini menekankan kemungkinan-kemungkinan akal budi (“ratio”)
manusia. Mereka semua juga ahli dalam bidang matematika, dan mereka semua
menyusun suatu sistem filsafat dengan menggunakan metode matematika.
3. Jaman
Fajar Budi
Abad kedelapan belas memperlihatkan perkembangan baru lagi. Setelah reformasi,
setelah renaissance dan setelah rasionalisme dari Jaman Barok,
manusia sekarang dianggap “dewasa”. Periode ini dalam sejarah Barat disebut
“Jaman Pencerahan” atau “Fajar Budi” (dalam bahasa Inggris, “Enlightenment”,
dalam bahasa Jerman, “Aufkl&0228;rung”). Filsuf-filsuf besar dari
jaman ini di Inggris “empirikus-empirikus” seperti John Locke
(1632-1704), George Berkeley (1684-1753) dan David Hume
(1711-1776). Di Perancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778) dan di Jerman
Immanuel Kant (1724-1804), yang menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme
dan empirisme dan yang dianggap sebagai filsuf terpenting dari jaman modern.
4. Jaman Romantik
Filsuf-filsuf besar dari Romantik lebih-lebih
berasal dari Jerman, yaitu J. Fichte (1762-1814), F. Schelling
(1775-1854) dan G.W.F. Hegel (1770-1831). Aliran yang diwakili oleh
ketiga filsuf ini disebut “idealisme”. Dengan idealisme di sini
dimaksudkan bahwa mereka memprioritaskan ide-ide, berlawanan dengan “materialisme”
yang memprioritaskan dunia material. Yang terpenting dari para idealis kedua
puluh harus dianggap sebagai lanjutan dari filsafat Hegel, atau justru sebagai
reaksi terhadap filsafat Hegel.
IV. Masa Kini
Dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas
sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar, yang
mempertahankan diri lama dalam wilayah-wilayah yang luas, yaitu rasionalisme,
empirisme dan idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad
kesembilan belas dan kedua puluh kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran
baru muncul, dan aliran-aliran ini sering terikat pada hanya satu negara atau
satu lingkungan bahasa.
Aliran-aliran yang paling berpengaruh yaitu positivisme,
marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme, neo-tomisme dan
fenomenologi. Tentang aliran-aliran dalam filsafat dibahas secara khusus di
dalam submenu Aliran. Pada waktunya, ketujuh aliran yang berpengaruh tadi juga
akan kita teliti satu persatu, karena rencananya materi halaman ini akan
senantiasa diperbarui secara rutin. Sekarang ini hanya disajikan suatu
pengenalan saja.
Aliran-aliran paling baru
Filsafat analitis merupakan
aliran terpenting di Inggris dan Amerika Serikat, sejak sekitar tahun 1950.
Filsafat analitis (yang juga disebut analitic philosophy dan linguistic
philosophy) menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis
konsep-konsep. Analisis ini dianggap sebagai “terapi”: menurut filsuf-filsuf
analitis, banyak soal falsafi (dan juga soal teologis dan ilmiah) dapat
“sembuh” kalau, berkat analisis bahasa, bisa ditunjukkan bahwa soal-soal ini
hanya diciptakan oleh pemakaian yang tidak sehat dari bahasa. Filsafat analitis
sangat dipengaruhi oleh L. Wittgenstein
Strukturalisme berkembang
di Perancis, lebih-lebih sejak tahun 1960. Strukturalisme merupakan suatu
sekolah dalam filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi dan
politikologi. Sturukturalisme menyelidiki “patterns” (pola-pola dasar
yang tetap) dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem ekonomi dan
politik, dan dalam karya-karya kesusasteraan. Tokoh-tokoh terkenal dari
strukturalisme antara lain Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan Michel
Foucault
Akhirnya, daslam sejarah filsafat kita bertemu
dengan hasil penyelidikan semua cabang filsafat. Sejarah filsafat mengajarkan
jawaban-jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir besar, tema-tema yang
dianggap paling penting dalam periode-periode tertentu, dan aliran-aliran besar
yang menguasai pemikiran selama suatu jaman atau di suatu bagian dunia
tertentu. Cara berpikir tentang manusia, tentang asal dan tujuan, tentang hidup
dan kematian, tentang kebebasan dan cinta, tentang yang baik dan yang jahat,
tentang materi dan jiwa, alam dan sejarah. Tetapi ada banyak pertanyaan dan
jawaban yang selalu kembali, di segala jaman dan di semua sudut dunia. Oleh
karena itu sejarah filsafat sesuatu yang sangat penting. Karena dalam sejarah
filsafat seakan-akan suatu dialog antara orang dari semua jaman dan kebudayaan
tentang pertanyaan-pertanyaan yang paling penting.
No comments: