Manfaat
Bagi banyak orang, pertanyaan “Untuk apa
berfilsafat?” menyiratkan suatu kepentingan praktis, yaitu “Apa manfaat
filsafat untukku, selain pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri?” Ada sebuah
jawaban yang juga praktis untuk pertanyaan itu. Keterlibatan kita secara kritis
dalam filsafat dapat mengubah keyakinan-keyakinan dasar kita, termasuk sistem
nilai yang kita miliki dan bagaimana kita memandang dunia secara umum.
Perubahan sistem nilai atau pandangan-pandangan dunia kita itu dapat
mengubah perspektif kebahagiaan kita, tujuan yang hendak kita kejar dalam
profesi kita, atau sekadar gaya hidup kita. Namun, manfaat-manfaat itu lebih
merupakan hasil sampingan saja, bukan tujuan yang spesifik, dari kajian
filsafat.
Tidak sulit untuk mencari contoh relevansi praktis yang muncul ketika kita
mengambil pandangan filsafat tertentu. Misalnya, jika betul tidak ada tindakan
yang benar-benar bebas, maka kita harus mempertimbangkan kembali pandangan kita
mengenai hukuman mati dan rehabilitasi para narapidana. (Mengapa harus
menghukum orang yang tidak mampu mengendalikan perbuatannya?) Contoh lain,
pilihan yang kita jatuhkan dalam pemungutan suara berkaitan dengan pro-kontra
suatu masalah atas pemilihan seorang kandidat dapat sangat dipengaruhi oleh
pandangan filsafat politik tertentu yang kita miliki. Contoh lain lagi, jika
betul keindahan itu hanya ada di mata pengamat, bagaimana kita dapat menentukan
bahwa suatu karya seni layak dianugerahi penghargaan sebagai karya seni
“terbaik”? dan konsepsi kita mengenai perilaku mana yang bermoral dan mana yang
tidak bermoral niscaya akan berakibat sangat jauh bagi relasi personal kita
dengan orang lain.
Lebih lanjut, seandainya saja kita melihat bahwa diri kita merupakan bagian
tak terpisahkan dari alam, barangkali kita tidak akan terlalu bernafsu
menguasai dan menaklukkannya, dan kita pun mungkin tidak akan terlalu menderita
akibat tindakan perusakan alam. Contoh lain, jika dalam arti tertentu pandangan
dunia Barat dapat “di-Timur-kan”, maka akan lebih mudah bagi orang Barat untuk
menjelaskan dan menerima fenomena akupuntur. Itu semua hanya beberapa contoh
untuk menunjukkan relevansi kajian permasalahan filsafat dengan kehidupan
sehari-hari. Bacalah juga beberapa jurnal filsafat. Di situ kita mungkin akan
menjumpai artikel-artikel dengan judul semacam ini: “IQ: Keturunan dan
Ketidakadilan”, “Eutanasia”, “Perilaku Paternalistik”, “Memaklumi Pemerkosaan”,
atau “Rudal dan Moral: Pandangan Utilitarian tentang Perlucutan Senjata
Nuklir”.
Sebelum kita beranjak lebih jauh, ada satu hal yang perlu diingat.
Penelusuran sebab-sebab terjadinya perubahan pada keyakinan-keyakinan
dasar seseorang seringkali adalah persoalan psikologi, bukan tugas filsafat,
dan tidak dapat ditangani oleh seorang filsuf. Memang perubahan semacam itu
dapat terjadi karena seseorang mempelajari filsafat, sama seperti karena ia
mempelajari bidang studi lain atau karena ia mendapat tekanan dari teman-teman
sebayanya. Namun, dengan berfilsafat atau melibatkan diri secara kritis dalam
persoalan-persoalan filsafat, tidak ada jaminan bahwa keyakinan-keyakinan
seseorang akan berubah. Juga tidak bisa dikatakan bahwa memang sebaiknya
terjadi perubahan. Ada orang yang merasa bahwa dengan mempelajari filsafat
keyakinan agamanya semakin diteguhkan, sementara orang lain justru mengalami
guncangan. Para filsuf tidak pernah berusaha dengan sengaja menimbulkan kedua
macam reaksi itu.
Kita akan memetik manfaat bukan hanya dari keterlibatan diri kita dalam
filsafat pada umumnya, melainkan juga secara khusus dari kegiatan melakukan
telaah atau kajian filsafat. Penelaahan filsafat yang efektif, sekali lagi,
bersifat luas, mendalam, dan kritis. Relevansi kritis dari penelaahan semacam
itu tidak dapat dipungkiri. Singkatnya, dengan melakukan telaah filsafat, kita
akan semakin mandiri secara intelektual, lebih toleran terhadap perbedan sudut
pandang, dan semakin membebaskan diri dari dogmatisme.
Pertama, sikap-sikap yang disebutkan di atas dapat berkembang karena luasnya
kajian filsafat yang kita lakukan. Perhatikan pertanyaan, “Apakah yang
menjadikan tindakan yang benar itu benar?” Banyak jawaban yang secara sepintas
nampaknya dapat diterima: besarnya kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu
tindakan, kepentingan pribadi, kelangsungan hidup spesies manusia, desakan suara
hati, atau apapun yang menurut masyarakat benar. Tidak satupun dari jawaban itu
mutlak harus diterima oleh semua filsuf. Barangkali tidak ada disiplin lain
yang sedemikian setia untuk melakukan telaah yang ketat dan tidak berat sebelah
terhadap “sudut pandang orang lain”. Sudut pandang orang lain itu mungkin nampaknya
tidak masuk akal, namun tidak jarang didukung dengan argumen-argumen yang kuat.
Menyadari bahwa selain pandangan diri sendiri ternyata ada pandangan-pandangan
lain yang argumennnya kokoh, dapat menjadi pengalaman yang membuat frustrasi atau
justru membebaskan. Apapun hasilnya, kesadaran itu membuka pintu bagi sikap
toleran dan bebas dari dogmatisme.
Kedua, kebebasan intelektual dan sikap-sikap lainnya yang berkaitan, akan
kita peroleh dengan mengkaji persoalan-persoalan filsafat secara mendalam.
Dalam suatu kuliah filsafat, misalnya, kita berkesempatan untuk menyelidiki
tema-tema yang dalam kuliah lain hanya dibicarakan sambil lalu.
Misalnya, dalam kuliah pengantar ilmu pengetahuan kerap dinyatakan bahwa
ilmu pengetahuan didasarkan pada prinsip determinisme, yakni keyakinan
bahwa segala persitiwa pasti memiliki sebab. Dalam kuliah sosiologi dan
antropologi, tesis bahwa moral berbeda-beda dalam setiap kebudayaan sering
dinyatakan sebagai bukti atas klaim kontroversial bahwa benar dan salah
semata-mata adalah soal kesukaan dan ketidaksukaan seseorang atau sekelompok
orang belaka. Dalam kuliah seni, seorang mahasiswa mungkin akan mengatakan
bahwa tidak ada kriteria untuk membedakan seni yang baik dari yang buruk; yang
ada hanyalah suka atau tidak suka pada yang kita lihat. Masing-masing
pernyataan tesebut, dan masih dapat ditambah dengan banyak contoh lain,
mengandung berbagai asumsi, implikasi, dan ambiguitas yang biasanya jarang
disentuh. Pernyataan-pernyataan semacam itu kerap diterima begitu saja secara
tidak kritis sebagai “kebenaran”. Filsafat mengajak kita untuk menguji dan
mempersoalkan kembali dogma-dogma yang telah kita anggap benar, mengajak kita
untuk mengambil posisi dan menetapkan pendirian.
Yang ketiga adalah penilaian kritis. Tujuan berfilsafat bukan
sekadar meninjau berbagai macam teori, tetapi juga menilainya secara kritis.
Entah apapun kesimpulan akhir kita mengenai persoalan tertentu, kita tetap
dapat mengembangkan sikap yang kritis secara umum. Sikap kritis berarti tidak
menerima sesuatu begitu saja hanya berdasarkan autoritas, mencermati
asumsi-asumsi dan ambiguitas-ambiguitas dalam setiap pernyataan yang dapat
dipersoalkan (termasuk pernyataan kita sendiri), menolak ikut arus pendapat
umum, dan mencari penjelasan dan alasan-alasan bagi hal-hal yang oleh orang
lain dianggap sudah jelas. Inilah unsur-unsur kemandirian intelektual. Inti
filsafat adalah membentuk pemikiran, bukan sekadar mengisi kepala dengan
fakta-fakta.
Mungkin, beberapa dari kita ada yang mempertanyakan apa sebenarnya manfaat
praktis yang “nyata” dari mempelajari filsafat, taruhlah dalam soal mencari
pekerjaan? Memang, gelar sarjana dalam bidang filsafat tidak akan mempersiapkan
kita untuk suatu pekerjaan tertentu, selain mempersiapkan kita untuk studi
tingkat pasca-sarjana atau mengajar. Lain halnya dengan bidang-bidang studi
lain yang lebih teknis sifatnya. Kelebihan filsafat adalah bahwa ia
memperlengkapi kita untuk berbagai bidang non-akademis, dan dalam banyak hal
dapat membantu kita mengembangkan diri dalam karier yang kita pilih.
Posisi-posisi kepemimpinan dan yang memikul tanggung jawab dalam berbagai
profesi - kedokteran, hukum, teologi, bisnis, dan lain-lain - menuntut
seseorang untuk bergulat dengan permasalahan filsafat. Setiap orang bisa
menghafalkan fakta-fakta, sebagaimana yang biasa kita lakukan di sekolah dulu.
Namun, lapangan kerja di dunia nyata menuntut jauh lebih banyak dari sekadar
menghafalkan fakta-fakta, jika kita memang ingin berhasil dan unggul.
“Fakta-fakta” masih perlu dipertanyakan, disusun ulang, ditinjau dari berbagai
perspektif, disingkirkan, dipungut lagi, diuji, dan ditimbang-timbang terus
secara logis, jelas dan inovatif. Kemampuan untuk melakukan semua itulah yang
hendak diperoleh dari belajar filsafat ataupun berfilsafat, entah dari bidang
mana pun fakta-faktanya berasal.
Ringkasnya, berfilsafat - mengkaji permasalahan filsafat secara serius -
memberikan manfaat pribadi dalam dua cara. Pertama, pengkajian filsafat
dapat membawa kepada perubahan keyakinan dan nilai-nilai dasar seseorang, yang
pada gilirannya dapat mempengaruhi arah kehidupan pribadi maupun profesinya. Kedua,
pengkajian filsafat dapat membuahkan kebebasan dari dogmatisme, toleransi
terhadap pandangan-pandangan yang berbeda, serta kemandirian intelektual.
Namun, sudah disinggung sebelumnya, tidak ada jaminan bahwa pengkajian filsafat
pasti akan menghasilkan buah-buah itu. Tentu ada hal-hal lain yang juga dapat
mengembangkan toleransi, kemandirian intelektual, ataupun perubahan nilai dan
keyakinan dasar seseorang. Filsafat hanyalah salah satu alternatif terbaik.
“Fakta-fakta” masih perlu dipertanyakan, disusun ulang, ditinjau dari
berbagai perspektif, disingkirkan, dipungut lagi, diuji dan ditimbang terus
secara logis, jelas, dan inovatif. Kemampuan untuk melakukan semua itulah yang
hendak dikembangkan melalui kegiatan berfilsafat itu sendiri - yang pada
hakikatnya merupakan sebuah latihan juga, entah dari bidang manapun
fakta-faktanya berasal.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa studi filsafat semakin menjadikan orang
mampu untuk menangani pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang tidak
terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu spesial. Jadi berfilsafat membantu
untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas (filsafat
teoretis) dan lingkup tanggung jawabnya (filsafat praktis).
Kemampuan itu dipelajarinya dari dua jalur: secara sistematis dan secara
historis. Pertama, secara sistematis. Artinya, filsafat
menawarkan metode-metode mutakhir untuk menangani masalah-masalah mendalam
manusia, tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan, baik biasa maupun ilmiah,
tentang tanggung jawab dan keadilan, dan sebagainya.
Jalur kedua adalah sejarah filsafat. Di situ orang belajar untuk
mendalami, menanggapi, serta belajar dari jawaban-jawaban yang sampai sekarang
ditawarkan oleh para pemikir dan filsuf terkemuka terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kemampuan ini memberikan sekurang-kurangnya tiga kemampuan yang memang
sangat dibutuhkan oleh segenap orang yang di jaman sekarang harus atau mau
memberikan pengarahan, bimbingan, dan kepemimpinan spiritual dan intelektual
dalam masyarakat.
1.
Suatu pengertian lebih mendalam tentang manusia dan
dunia. Dengan mempelajari pendekatan-pendekatan pokok terhadap
pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling hakiki, serta mendalami
jawaban-jawaban yang diberikan oleh para pemikir terbesar umat manusia,
waawasan dan pengertian kita sendiri diperluas.
2.
Kemampuan untuk menganalisis secara terbuka dan kritis
argumentasi-argumentasi, pendapat-pendapat, tuntutan-tuntutan dan
legitimasi-legitimasi dari berbagai agama, ideologi dan pandangan dunia. Secara
singkat, filsafat selalu juga merupakan kritik ideologi. Justru
kemampuan ini sangat diperlukan dewasa ini di mana kebudayaan merupakan pasaran
ide-ide dan ideologi-ideologi religius dan politis yang mau membujuk manusia
untuk mempercayakan diri secara buta kepada mereka. Dalam situasi ini sangat
diperlukan kemampuan untuk tidak sekadar menolak ideologi-ideologi itu secara
dogmatis dan dari luar, melainkan untuk menanggapinya secara kritis dan
argumentatif.
3.
Pendasaran metodis dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam
menjalani studi-studi di ilmu-ilmu spesial, termasuk teologi.
Dengan mempertimbangkan hal di atas, dapat
dikatakan bahwa filsafat, demikian kegiatan berfilsafat, sangat diperlukan oleh
profesi-profesi seperti pendidik, wartawan, pengarang dan penerbit, budayawan,
sosiolog, psikolog, ilmuwan politik, agamawan, dan teolog.
Di samping itu, filsafat juga mempunyai fungsi
khusus dalam lingkungan sosial budaya Indonesia:
1.
Bangsa Indonesia berada di tengah-tengah dinamika proses modernisasi
yang meliputi semakin banyaknya bidang dan hanya untuk sebagiannya dapat
dikemudikan melalui kebijakan pembangunan. Menghadapi tantangan modernisasi dengan
perubahan pandangan hidup, nilai-nilai dan norma-norma itu, filsafat membantu
untuk mengambil sikap yang sekaligus terbuka dan kritis.
2.
Filsafat merupakan sarana baik untuk menggali kembali kekayaan
kebudayaan, tradisi-tradisi, dan filsafat Indonesia untuk
mengaktualisasikannya bagi Indonesia modern yang sedang kita bangun.
Filsafatlah yang paling sanggup untuk mendekati warisan rohani tidak hanya
secara museal dan verbalistik, melainkan secara evaluatif, kritis dan
refleksif, sehingga kekayaan rohani bangsa dapat menjadi modal dalam
pembentukan terus-menerus identitas modern bangsa Indonesia.
3.
Sebagai kritik ideologi, filsafat membangun kesanggupan
untuk mendeteksi dan membuka kedok-kedok ideologis pelbagai bentuk
ketidakadilan sosial dan pelanggaran-pelanggaran terhadap martabat dan hak-hak
asasi manusia yang masih terjadi. Jadi filsafat membuat sanggup untuk melihat
secara terbuka masalah-masalah sosial serta percaturan kekuasaan yang sedang
berlangsung.
4.
Filsafat merupakan dasar paling luas untuk berpartisipasi
secara kritis dalam kehidupan intelektual bangsa pada umumnya dan khususnya
dalam kehidupan intelektual di universitas-universitas dan lingkungan akademis.
Filsafat dapat berfungsi sebagai interdisipliner sistem, tempat bertemunya
berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di universitas-universitas, fakultas
filsafat sering disebut “fakultas sentral” atau “inter-fakultas”, karena semua
fakultas lain, yang selalu menyelidiki salah satu segi dari kenyataan,
menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi
termasuk bidang khusus mereka. Misalnya, pertanyaan tentang batas-batas
pengetahuan kita, tentang asal bahasa, tentang hakikat hidup, tentang hubungan
badan dan jiwa, tentang hakikat materi, tentang dasar moral.
5.
Salah satu fungsi terpenting filsafat adalah bahwa ia
menyediakan dasar dan sarana sekaligus bagi diadakannya dialog di anatara
agama-agama yang ada di Indonesia pada umumnya dan secara khsus dalam rangka
kerja sama antar-agama dalam membangun masyarakat adil-makmur. Jadi filsafat
adalah dasar bagus bagi dialog antar-agama, karena argumentasinya mengacu pada
manusia dan rasionalitas pada umumnya, tidak terbatas pada pendekatan salah
satu agama tertentu, itu pun tanpa mengurangi pentingnya sikap beragama. Justru
para agamawan memerlukan filsafat supaya dapat bicara satu sama lain dan
bersama-sama memecahkan masalah-masalah sosial dan masalah-masalah nasional.
Tugas Filsafat
Salah satu alasan mengapa seorang berfilsafat
adalah karena memang dalam diri filsafat itu sendiri mengandung suatu tugas.
Kita sudah mengetahui bahwa filsafat didasari oleh suatu kebebasan
berpikir, namun suatu kebebasan berpikir yang ditandai oleh hasrat keakraban
dengan kebenaran yang dikandung oleh penampilan realitas. Sementara, tidak
semua bentuk berpikir dalam filsafat harus terus-menerus dijamin oleh
kesungguhan dan kejujuran dalam menempuh tahap-tahap pikiran menuju kebenaran,
sedangkan kesaksian terhadap kesungguhan dan kejujuran ini tidak bisa
diterapkan oleh orang lain kecuali oleh nurani filsuf yang bersangkutan.
Oleh karenanya, orang yang berfilsafat adalah
orang yang berpikir sambil bertanggungjawab. Di sinilah letak tugasnya, yang
sudah menjadi sifat filsafat itu sendiri, yang terpenting. Refleksi tentang ini
diuraikan dengan bagus oleh sejumlah pemikir jaman kita, seperti Karl Popper,
Gabriel Marcel dan Alfred North Whitehead.
. Karl Popper
Tugas filsafat sekarang ini, menurut Sir Kal
Popper (lahir di Wina 1902, mengajar filsafat di Inggris, Selandia Baru dan
Amerika Serikat), lebih-lebih “berpikir kritis tentang alam raya dan tentang
tempat manusia di dalamnya; berpikir tentang kemampuan-kemampuan pengetahuan
kita dan kemampuan-kemampuan kita terhadap kebaikan dan kejahatan”. (K. Popper,
“How I See Philosophy”, dalam: Ch. Bontempo - S. Jack Odell, The Owl
of Minerva, Philosophers on Philosophy, New York 1975, hlm. 55.)
Hidup kita di dunia ini - sebuah planet kecil
dalam kosmos yang sebagian besar kosong - merupakan suatu misteri besar. Hidup
mempunyai nilai sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Hidup itu mahal. Kita
cenderung untuk melupakan itu dengan memandanganya sebagai sesuatu yang murah.
“Semua orang adalah filsuf, karena
semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada orang yang
berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup ini akan berakhir. Mereka
tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa
- kalau hidup tidak akan berakhir - hidup tanpa harga, dan bahwa bahaya yang
selalu hadir, yaitu bahwa kita dapat kehilangan hidup, sekurang-kurangnya ikut
menolong untuk menyadari nilai dari hidup.” (K. Popper, “How I See Philosophy”,
hlm. 55.)
.Gabriel Marcel
Gabriel Marcel (lahir di Paris 1889,
meninggal 1973) melihat filsafat sebagai “reconaissance”. Kata Perancis
ini berarti sekaligus “mengingat”, “mengakui”, “menyelidiki” dan “berterima
kasih”. Gabriel Marcel menekankan dua arti, yaitu “penyelidikan” dan “sikap
berterima kasih” atau “penghargaan”. Kedua arti ini dari “reconaissance”
(dalam bahasa Inggris “recognation” dan “acknowledgement”)
memperlihatkan kedua dimensi pengetahuan manusia: masa lampau dan masa depan.
Terhadap masa lampau kita harus berterima
kasih, mengakui bahwa kita berhutang. “Reconaissance” ini dilupakan oleh
para teknokrat dan ideolog. Karena mereka hanya memilih salah satu unsur atau
ajaran dari seluruh warisan sejarah filsafat. Dan bagian kecil ini - misalnya
ajaran Marx - kemudian didewakan. Sikap ini berarti suatu devaluasi dari semua
sistem yang mendahului sistem satu-satunya yang didewakan itu.
Terhadap masa depan kita harus terbuka: siap
untuk menyelidiki dan menerima.
Tugas filsafat sekarang ini, kata Gabriel
Marcel, terdiri dari kedua jenis “reconaissance” ini: sikap penghargaan
dan sikap keterbukaan, kerelaan untuk menerima, “acceptance”. Dengan
demikian filsafat menjadi suatu “re-thinking”, suatu refleksi kedua yang
dapat mengatasi jurang yang dialami manusia dalam jaman kita, yaitu jurang
antara sikap teknis dan analitis di satu pihak dan hidup di lain pihak. (G.
Marcel, “Philosophy as I See it Today”, dalam Ch. Bontempo - S. Jack
Odell, The Owl of Minerva, Philosophers on Philosophy, New york 1975,
hlm. 119-122.)
Gabriel Marcel mengemukakan sesuatu yang
sangat klasik. Plato sudah mengajar bahwa “mengetahui” sebetulnya “mengingat”,
dan Hediegger mengatakan bahwa “berpikir” (dalam bahasa Jerman “denken,
bahasa Inggris “to think”) harus bersifat “berterima kasih” (dalam
bahasa Jerman “danken”, bahasa Inggris “to thank”). Berpikir itu
sesuatu yang dianugerahkan kepada kita, sesuatu yang harus dihargai dan
diterima.
.Alfred North Whitehead
Alfred North Whitehead (1861-1947 mengajar
matematika dan filsafat di Cambridge, Inggris, dan di Harvard, Amerika Serikat)
menguraikan tugas filsafat dengan kata-kata ini:
Filsafat itu tidak salah satu ilmu di antara
ilmu-ilmu lain. “Filsafat itu pemeriksaan (‘survey’) dari ilmu-ilmu, dan
tujuan khusus dari filsafat itu menyelaraskan ilmu-ilmu dan melengkapinya.”
(A.N. Whitehead, Science and the Modern World, Cambridge 1953, hlm.
108.)
Filsafat mempunyai dua tugas: menekankan
bahwa abstraksi-abstraksi dari ilmu-ilmu betul-betul hanya bersifat abstraksi
(maka tidak merupakan keterangan yang menyeluruh), dan melengkapi ilmu-ilmu
dengan cara ini: membandingkan hasil ilmu-ilmu dengan pengetahuan intuitif
mengenai alam raya, pengetahuan yang lebih konkret, sambil mendukung
pembentukan skema-skema berpikir yang lebih menyeluruh.
Definisi Whitehead ini - filsafat sebagai “survey
of sciences” - diterima oleh banyak orang dewasa ini. Definisi Whitehead
masih dapat diperluas sedikit: filsafat itu tidak hanya “survey of sciences”,
melainkan juga “survey” (atau”re-thinking”) dari semua ideologi,
semua interpretasi mengenai dunia, dan dari seluruh kenyataan manusiawi.
Ketiga uraian dari Popper, Marcel dan
Whitehead dapat dibaca sebagai satu definisi: Tugas filsafat itu “berpikir
kritis tentang alam raya dan tentang tempat kita di dalamnya (Popper), “re-thinking”
dengan “sikap keterbukaan dan penghargaan” (Marcel), penyelidikan kritis
mengenai hasil ilmu-ilmu abstrak untuk mencapai suatu gambaran yang lebih
menyeluruh (Whitehead).
Istilah-istilah lain yang sekarang sering
terdengar dalam uraian-uraian mengenai tugas filsafat: “re-interpretasi”
kenyataan manusiawi, “penciptaan suatu bahasa umum yang dapat dipakai sebagai
bagian dari semua ilmu khusus”, “dialog yang mendamaikan abstraksi-abstraksi
dan spesialisme-spesialisme ilmu-ilmu”, dan “mencari hikmat di tengah semua
pengetahuan”.
Tidak begitu penting uraian mana yang
dipilih. Yang penting adalah suatu sikap tertentu, yaitu sikap keterbukaan
dalam berfilsafat dan memikul tugas yang memang sudah melekat padanya.
Cakrawala pengetahuan kita semakin luas. Namun kita tidak boleh melupakan bahwa
pengetahuan yang luas ini tidak pernah utuh. Kita tidak “memiliki” kebenaran. Filsafat
mencari kebenaran, dan itu mulai dengan menyadari betapa sedikit yang
sungguh kita ketahui.
No comments: