Filsafat
Filsafat Dasar ~ Pengantar
Kata-kata “filsafat”, “filosofi”,
“filosofis”, “filsuf”, “falsafi” bertebaran di sekeliling kita. Apakah
pemakaiannya dalam kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang
dimilikinya, kita acapkali tidak merisaukan hal itu, mungkin karena kita
sendiri juga kurang paham dan belum berkesempatan memeriksa beberapa literatur
atau pun bertanya kepada mereka yang berkompeten menjelaskan hal itu. Sementara
itu, kita mengerti bahwa beberapa peristilahan ada karena memiliki latar
belakang yang unik. Suatu peristilahan perlu dipahami konteks-nya untuk
memperoleh kejelasan maknanya, baik itu konteks sosial, budaya bahkan politik.
Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah melukiskan atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dari yang dilukiskan atau diwakilinya. Submenu terminologi memperlihatkan bagaimana istilah-istilah yang disebutkan tadi bisa digunakan. Dalam bagian ini juga dapat diperoleh uraian lebih lanjut mengenai relasi antara filsafat, ilmu dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa seseorang perlu berfilsafat?”, atau “Untuk apa seseorang berfilsafat?”, yang terkadang bernada curiga ini, secara khusus dianalisis dalam mengapa ?. Pertanyaan mendasarnya, “Mengapa (manusia) berfilsafat ?” Benarkah anggapan bahwa filsafat tidak membawa apa-apa bagi kepentingan manusia atau masyarakat pada umumnya? Bahwa filsafat hanya milik para filsuf dan mahasiswa filsafat? Kemudian, benarkah juga proposisi bahwa filsafat tidak mungkin dapat mempertanggungjawabkan pemikiran-pemikiran yang dihasilkan darinya, karena para filsuf adalah kumpulan pengelamun saja? Lagipula, mengapa harus filsafat yang berperanan dalam hal-hal yang kini “ditangani” oleh filsafat? Apakah tidak ada hal lain di luar filsafat yang mampu menyelidikinya? Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut akan dicoba untuk diperiksa. Pada subemenu sejarah, kita akan melihat ringkasan sejarah filsafat Timur dan Barat. Kita akan berjumpa dengan pergulatan jaman dengan para pemikir, filsuf dan masyarakatnya. Kita mulai dengan mengenal sejumlah nama-nama : jaman atau periode apa ia disebut, siapa-siapa filsuf yang berpengaruh, pemikiran atau filsafat apa yang berkembang, dan seterusnya.
Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah melukiskan atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dari yang dilukiskan atau diwakilinya. Submenu terminologi memperlihatkan bagaimana istilah-istilah yang disebutkan tadi bisa digunakan. Dalam bagian ini juga dapat diperoleh uraian lebih lanjut mengenai relasi antara filsafat, ilmu dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa seseorang perlu berfilsafat?”, atau “Untuk apa seseorang berfilsafat?”, yang terkadang bernada curiga ini, secara khusus dianalisis dalam mengapa ?. Pertanyaan mendasarnya, “Mengapa (manusia) berfilsafat ?” Benarkah anggapan bahwa filsafat tidak membawa apa-apa bagi kepentingan manusia atau masyarakat pada umumnya? Bahwa filsafat hanya milik para filsuf dan mahasiswa filsafat? Kemudian, benarkah juga proposisi bahwa filsafat tidak mungkin dapat mempertanggungjawabkan pemikiran-pemikiran yang dihasilkan darinya, karena para filsuf adalah kumpulan pengelamun saja? Lagipula, mengapa harus filsafat yang berperanan dalam hal-hal yang kini “ditangani” oleh filsafat? Apakah tidak ada hal lain di luar filsafat yang mampu menyelidikinya? Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut akan dicoba untuk diperiksa. Pada subemenu sejarah, kita akan melihat ringkasan sejarah filsafat Timur dan Barat. Kita akan berjumpa dengan pergulatan jaman dengan para pemikir, filsuf dan masyarakatnya. Kita mulai dengan mengenal sejumlah nama-nama : jaman atau periode apa ia disebut, siapa-siapa filsuf yang berpengaruh, pemikiran atau filsafat apa yang berkembang, dan seterusnya.
Last but not least, filsafat terbagi dalam beberapa cabang dan
aliran. Kita akan mengetahuinya melalui submenu Cabang dan Aliran yang memang
dikhususkan untuk pembahasan itu.
• Filsafat Dasar ~ Terminologi
Terminologi
Memberikan rumusan yang pasti tentang apa
yang termuat dalam kata “filsafat” adalah suatu pekerjaan yang terlalu
berani dan sombong! Saya ingin mulai dari sini. Memang, para peminat filsafat,
kita sulit mendefinisikan kata yang satu ini. Bahkan para filsuf (ahli
filsafat) pun mengakuinya. Apa yang membuatnya demikian adalah oleh karena
terdapatnya beragam-ragam paham, metode dan tujuan, yang dianut, ditempuh dan
dituju oleh masing-masing filsuf. Namun, sebuah pengertian awal mesti
diberikan; maksudnya sebagai kompas agar kita tidak tersesat arah di dalam
perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud ini, maka pengertian tersebut
haruslah bersifat dapat dipahami sebanyak-banyak orang, sehingga dapat
dijadikan tempat berpijak bersama.
Baiklah kita menilik dahulu kata “filsafat”
ini dari akar katanya, dari mana kata ini datang. Kata “filsafat”
berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta,
mencintai, philos pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi
filsafat artinya “cinta akan kebijaksanaan”. Cinta artinya hasrat yang besar
atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya
kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau
keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada
mulanya.
Dari arti di atas, kita kemudian dapat
mengerti filsafat secara umum. Filsafat adalah suatu ilmu, meskipun bukan ilmu
vak biasa, yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh
kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk berpikir yang
radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya. Hal yang membawa usahanya itu kepada suatu kesimpulan
universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana
sampai yang terkompleks. Filsafat, “Ilmu tentang hakikat”. Di sinilah kita
memahami perbedaan mendasar antara “filsafat” dan “ilmu (spesial)” atau
“sains”. Ilmu membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat
diindera, atau alam empiris. Ilmu menghadapi soalnya dengan pertanyaan
“bagaimana” dan “apa sebabnya”. Filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan
mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar
(keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu empiris.
Philosophy: Inquiry into the nature of things based on logical reasoning
rather than empirical methods (The Grolier Int. Dict.). Filsafat
meninjau dengan pertanyaan “apa itu”, “dari mana” dan “ke mana”. Di sini orang
tidak mencari pengetahuan sebab dan akibat dari suatu masalah, seperti yang
diselidiki ilmu, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya
pada barang atau masalah itu, dari mana terjadinya dan ke mana
tujuannya. Maka, jika para filsuf ditanyai, “Mengapa A percaya akan Allah”,
mereka tidak akan menjawab, “Karena A telah dikondisikan oleh pendidikan di
sekolahnya untuk percaya kepada Allah,” atau “Karena A kebetulan sedang
gelisah, dan ide tentang suatu figur bapak membuatnya tenteram.” Dalam hal ini,
para filsuf tidak berurusan dengan sebab-sebab, melainkan dengan dasar-dasar
yang mendukung atau menyangkal pendapat tentang keberadaan Allah. Tugas
filsafat menurut Sokrates (470-399 S.M.) bukan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam kehidupan, melainkan mempersoalkan
jawaban yang diberikan.
Sampai dengan kedua pengertian di atas, marilah
kita simak apa kata Kattsoff (1963) di dalam bukunya Elements of
Philosophy untuk melengkapi pengertian kita tentang “filsafat”:
Filsafat adalah berpikir
secara kritis.
Filsafat adalah berpikir
dalam bentuk sistematis.
Filsafat harus
menghasilkan sesuatu yang runtut.
Filsafat adalah berpikir
secara rasional.
Filsafat harus bersifat
komprehensif.
Kemudian Windelband, seperti dikutip Hatta
dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani, “Filsafat sifatnya merentang
pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang nyata.”
Demikian kata Magnis, “Filsafat
sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual
untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak
hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang
sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti,
memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan fakta-fakta yang
dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai
latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam
pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh
membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang
misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu
memang bukan hanya rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya
mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana
pembangunan itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk
merasa bahagia. Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan
sesuatu kepada kita, filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang
dewasa dengan mempersoalkan hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu.
Terhadap ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau
orang yang mau mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat
akan menarik perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah
manusia saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik
dengan suara manusia begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan
segala nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada
seorang filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu
Plato, dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain jaman itu,
Aristoteles” (Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat Dari Konteks,
Jakarta, Gramedia, 1999).
Untuk menutup pemahaman awal kita mengenai
terminologi “filsafat”, baiklah dicatat nuansa perbedaan arti “filsafat” dengan
istilah-istilah yang hampir serupa dengan ini, yakni “falsafah”, “falsafi”
atau “filsafati”, “berpikir filosofis” dan “mempunyai filsafat
hidup” yang sering kita dengar, kita baca, atau bahkan mungkin kita pakai
dalam hidup keseharian kita. “Falsafah” itu tidak lain filsafat itu sendiri.
“Falsafi” atau “filsafati” artinya: “bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah
filsafat”. “Berpikir filosofis”, sesungguhnya begini: berpikir dengan dasar
cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai
hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir benar
saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah
tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun
diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya.
Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan gabungan antara
keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan, “mempunyai filsafat
hidup” mempunyai pengertian yang lain sama sekali dengan pengertian “filsafat”
yang pertama. Ia bisa diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman
hidup atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat
bahwa “tujuan menghalalkan cara”.
Sekarang kita melangkah untuk melihat lebih
dekat tentang hubungan antara filsafat, ilmu dan agama. Masalah tentang
hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah yang sering dipersoalkan. Ada
yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak menyaingi sains dan agama,
demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling curiga mencurigai antara
ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan pencarian akan kebenaran
itu sendiri.
Relasi Filsafat, Ilmu dan Agama
Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari
oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga
mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah “kebenaran
akal”, sedangkan kebenaran menurut agama adalah “kebenaran wahyu”. Kita tidak
akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara keduanya, akan
tetapi kita akan melihat apakah keduanya dapat hidup berdampingan secara damai,
... secara damai, apakah keduanya dapat
bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain. Meskipun filsafat dan
ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat
maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang
berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula
terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran.
Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan
sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang
melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia
telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu
yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian
mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan
tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan
tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana
tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci
mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh
manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari
susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya
manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari
kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu
manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan
yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta
diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang
manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya
terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya
akan berupa suatu “filsafat”. Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan
tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat
manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton
Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah
“antropologi metafisik” untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban
yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu
asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan
sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas
dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya
jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas
tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari
banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan
mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
Aristoteles:
o Manusia adalah animal rationale.
Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan:
Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
Tumbuhan = benda mati + hidup ——>
tumbuhan memiliki jiwa hidup
Binatang = benda mati + hidup +
perasaan ——> binatang memiliki jiwa perasaan
Manusia = benda mati + hidup + akal
——> manusia memiliki jiwa rasional
o Manusia adalah zoon poolitikon,
makhluk sosial.
o Manusia adalah “makhluk hylemorfik”,
terdiri atas materi dan bentuk-bentuk.
Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum
Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat,
kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat
daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Demikianlah disebutkan beberapa contoh
mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat
adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya
menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia.
Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi
mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam
batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam
Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena
belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia
adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah
seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi
agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru. Bertrand
Russel mencatat August Comte pernah mencobanya, namun ia gagal. “Dan
ia patut bernasib demikian,” demikian Russel.
Selanjutnya,
filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama.
Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada
manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan)
teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan
wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat
membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan
mendapat anak dengan in vitro fertilization (“bayi tabung”) dapat
dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa
tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat
merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya
berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu memberi
jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan
filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar
rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia
memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang
dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang
sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai
kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar
cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun
dunia ini.
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan
masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin
hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa
seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal
yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang
dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama.
Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul
dalam kehidupan.
Demikianlah pemahaman yang kita miliki
sekarang mengenai terminologi “filsafat” dan kedudukannya di antara ilmu dan
agama.
No comments: